Rumah Sakit dalam Sejarah Islam
(Serial Kegemilangan
Peradaban Islam)
DR. Musthafa As-Siba’i dalam
bukunya yang berjudul “Min Rawa’i Hadharatina”,
menyebutkan bahwa jumlah rumah sakit Islam (di masa kejayaan Islam) sangat
banyak, memenuhi desa dan ibu kota. Ketika itu, tidak ada satu pun di Dunia
Islam yang tidak ada rumah sakitnya. Di Cordoba saja pada waktu itu ada lima
puluh rumah sakit.
Jenis rumah sakit bermacam-macam.
Ada rumah sakit tentara, rumah sakit untuk para tahanan, ada pos-pos pelayanan kesehatan yang didirikan di sekitar
masjid dan tempat-tempat umum yang didapati manusia. Al-Maqrizi menceritakan
bahwa ketika Ibnu Thulun selesai membangun masjidnya yang terkenal di Mesir,
dia kemudian membangun apotek yang terdapat aneka ragam sirup dan obat-obatan.
Di apotek tesebut ada petugas dan dokter yang membuka praktik setiap hari Jumat
untuk mengobati orang shalat yang terkena penyakit.
Ada juga rumah sakit umum untuk
mengobati masyarakat luas. Di rumah sakit tersebut ada dua ruangan yang terpisah
untuk laki-laki dan perempuan. Dalam setiap ruangan ada beberapa kamar yang
dikhususkan untuk setiap jenis penyakit. Ada untuk penyakit dalam, mata,
luka-luka, patah dan bedah tulang, serta penyakit-penyakit kejiwaan. Kamar
untuk penyakit dalam pun terbagi menjadi beberapa ruangan lagi. Ada untuk
demam, diare, dan lain-lain.
Di setiap ruangan ada
dokter-dokternya berikut seorang ketua. Jadi, ada ketua untuk penyakit dalam,
bedah, dan mata. Selanjutnya, ketua-ketua dokter bagian ini dipimpin oleh
seorang ketua umum yang disebut sebagai “sa’ur.”
Para dokter bekerja dengan
bergilir. Setiap dokter mempunyai jadwal kerja masing-masing. Dalam setiap
rumah sakit ada beberapa perawat dan para asistennya, baik laki-laki ataupun
perempuan. Mereka mendapat gaji yang sangat banyak.
Di setiap rumah sakit ada
sekolah kedokteran. Di dalam rumah sakit ada ruangan besar untuk seminar. Dalam
ruangan tersebut duduk dokter kawakan dan dokter para murid. Di samping mereka
terdapat alat-alat praktik dan buku. Setelah melaksanakan tugas mengobati para
pasien, murid-murid tersebut duduk menghadap guru-guru mereka. Kemudian
terjadilah diskusi dan pembacaan buku kedokteran antara guru dan murid. Guru tersebut sering menemani
muridnya ke dalam rumah sakit untuk menyampaikan pelajaran praktik kepada
pasien. Pada saat itu tidak ada
dokter pun yang diizinkan untuk mengobati kecuali telah menjalankan ujian di
depan dokter-dokter besar negara.
Di setiap rumah sakit selalu
ada perpustakaan besar yang dipenuhi oleh buku-buku kedokteran, serta hal-hal
yang dibutuhkan oleh para dokter dan murid-murid mereka. Sebagai contoh, rumah
sakit Ibnu Thulun yang ada di Kairo saja, terdapat lebih seratus ribu jilid
buku yang terdiri dari berbagai cabang ilmu.
Masuk ke rumah sakit pun
digratiskan untuk semua orang. Tidak dibedakan antara orang kaya-miskin,
jauh-dekat, dan berilmu-tidak berilmu. Pertama-tama, pasien diperiksa di
ruangan luar. Jika da pasien yang terkena penyakit ringan, dia diberi resep dan
dapat mengambil obatnya di apotek rumah sakit. Dan, jika ada pasien yang
terkena penyakit berat, namanya ditulis serta langsung masuk ke kamar mandi. Di
sana, bajunya dilepas dan disimpan di tempat khusus. Lalu, dis ditempatkan di
kamar pasien dan diberi ranjang dengan kualitas terbaik. Setelah itu, oleh
dokter dia diberi obat dan makanan yang sesuai dengan penyakitnya.
Pada saat itu, makanan pasien
terdiri dari daging kambing, sapi, burung, dan ayam. Pasien yang telah sembuh
diberi roti dan ayam dalam satu kali makan. Lalu, dia dipindahkan ke dalam
ruangan khusus yang disediakan bagi pasien-pasien yang telah sembuh. Dan jika
benar-benar telah sembuh, dia diberi baju baru dan sejumlah uang yang bisa
mencukupinya untuk bekerja.
Ketika itu, kamar-kamar rumah
sakit sangat bersih. Di dalamnya ada aliran air, dan peralatannya pun terdiri
dari kualitas terbaik. Dalam setiap rumah sakit ada beberapa petugas kebersihan
dan pemeriksa keuangan. Para khalifah dan pejabat tinggi negara sering menengok
para pasien untuk melihat keadaan mereka.
Heldiana
(Disadur dari buku Distorsi
Sejarah Islam, karya DR. Yusuf Al-Qaradhawi)