Pendidikan
merupakan topik pembicaraan yang tidak pernah tuntas. Usianya sepanjang
peradaban manusia itu sendiri. Posisi pendidikan yang demikian penting ini
karena manusia sangat membutuhkannya untuk meningkatkan kualitas dirinya.
Berbagai
cara telah diupayakan untuk mencapai kualitas tersebut. Di Indonesia sendiri,
di awal tahun 2013, ramai dibicarakan mengenai produk baru yang ditawarkan dan
tentunya diidealkan. Produk baru tersebut adalah Kurikulum
2013. Dengan berbagai alasan, akhirnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) yang sebenarnya juga baru berusia seumur jagung itu digantikan oleh
kurikulum baru tersebut. Di sisi lain, pengajar/guru terus ditingkatkan
kompetensinya melalui berbagai pelatihan, misalnya program sertifikasi guru.
Semuanya demi membentuk guru profesional. Namun, apa yang terjadi hari ini
berupa kemerosotan kualitas keluaran pendidikan (sekolah) adalah bukti nyata
betapa pembenahan di sana-sini itu masih jauh dari kata ideal.
Sebagai contoh, Majalah Wanita Kartini pernah membeberkan hasil survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang
dilakukan terhadap 4.500 remaja di dua belas kota besar di Indonesia. Hasilnya
sangat memprihatinkan! Sekitar 93,7% remaja
ditengarai pernah berciuman, petting,
dan oral. Temuan lain, sekitar 62% remaja di Indonesia pernah berhubungan
intim. Tidak kalah mencengangkan! Kasus penyalahgunaan narkoba di kalangan
remaja yang dibeberkan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) yang ternyata juga
menanjak. Hebatnya, siswa SMP pun telah mengoplos narkoba (www.arajang.com). Tahun 2017,
DKI Jakarta dan Jawa Timur menjadi dua wilayah terparah konsumsi narkoba di kalangan
remaja. Sekitar 23,7% atau 238.680 dari total pengguna narkotika adalah remaja
di Jawa Timur. Belakangan juga marak penyalahgunaan paracetamol,
caffein, dan carisoprodal (PCC) yang bahkan
berujung pada kematian. Tawuran antarpelajar, antarmahasiswa, atau
antarwarga sekalipun, tidak kalah maraknya. Sekarang di tahun ini, sebuah tanda
tanya besar masih menggelayut: bagaimana nasib pendidikan di negeri ini ke
depan?
Guru Peradaban
Konon, setelah Perang Dunia II,
Kaisar Jepang pada waktu itu bertanya “Berapa jumlah guru yang masih hidup?”
Pertanyaan ini adalah bukti kesadaran yang mendalam bahwa guru memegang peran penting
untuk bangkit dan jayanya sebuah bangsa. Artinya, jika kita menginginkan bangsa
yang kuat dari segala aspek—fisikal, kognitif, afektif, dan psikomotorik, dan
spiritual—unsur guru sebagai teladan harus dinomorsatukan.
Guru
harus bisa menjadi teladan dari segala sisi. Idealnya, guru itu cerdas,
berakhlak, dan terampil. Seorang guru semestinya menguasai materi yang
diajarkannya. Finlandia yang pernah didaulat
memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia—jauh meninggalkan Amerika Serikat
di urutan ke-17—membuat kriteria yang ketat untuk menjadi guru. Seseorang harus berada dalam 10 besar lulusan
terbaik universitas jika ingin menjadi
guru. Guru-guru di sana betul-betul berdedikasi tinggi walaupun dengan gaji
yang terbilang biasa. Bandingkan dengan Indonesia. Di negara kita, semua orang
bisa menjagi guru, asalkan bertitel sarjana pendidikan. Urusan kompetensi,
akhlak, keterampilan, itu soal lain. Apakah pada saat ujian di kampus sang
calon guru itu menyontek atau kerja mandiri? Orisinilkah skripsinya? Bukan
menjadi soal! Bahkan sudah menjadi stereotip, untuk menjadi pegawai negeri
sipil (guru), harus dengan uang pelicin.
Sejarah
mencatat prestasi emas yang diukir oleh seorang Muhammad sallallahu alaihi wasallam, sang
mahaguru peradaban, dalam mengubah
bangsa Arab Jahiliah menjadi bangsa berperadaban tinggi dan disegani bukan
hanya di wilayah Jazirah Arab, tetapi juga oleh bangsa-bangsa lain yang lebih
dahulu maju. Bangsa Arab terkenal menyembah berhala, berpecah belah, “hobi”
mengubur hidup-hidup bayi perempuan, berjudi, mengundi nasib, riba, minum
khamar, kasar, tidak menghargai perempuan sedikit pun dan lain-lain Rasulullah berhasil mengubah kegelapan itu
menjadi matahari yang bersinar hanya sekitar 23 tahun, hanya butuh satu
generasi. Rasululllah mendapatkan satu gelar kehormatan dari masyarakatnya, al amin artinya dapat dipercaya, gelar
yang tidak pernah diberikan oleh universitas mana pun di dunia. Inilah
keteladanan. Bukti nyata betapa peran guru dengan karakter keteladanan yang
kuat sangat dibutuhkan.
Kitalah,
Para Guru!
Segera
membenahi guru adalah kunci dari segala masalah pendidikan kita. Mengapa? Gurulah yang mengajar; guru yang
memegang kendali kelas; guru yang diteladani; guru yang menyampaikan ilmu, dan
karena gurulah yang bertanggung jawab atas baik-buruknya suatu bangsa, suatu
peradaban.
Kita
patut mengapresiasi inovasi dan berbagai dorongan yang terus diupayakan oleh
kementerian pendidikan, seperti praktik MOS di sekolah menjadi lebih edukatif
dengan adanya arahan dari kementerian. Juga adanya penguatan komitmen
pendidikan antara sekolah, orang tua siswa dan pihak terkait. Penguatan
pembentukan karakter positif di seklah melalui pembiasaan-pembiasaan baik, juga
dengan menempelkan slogan “aku benci korupsi” di baju siswa. Semua ini adalah upaya
positif yang perlu didukung untuk perbaikan hasil-hasil pendidikan ke depan.
Namun,
hal ini akan seperti menegakkan benang basah jika kita sebagai guru tidak
mengambil peran sebagai pengajar sekaligus pendidik yang menanamkan nilai-nilai
akhlak. Jika Indonesia serius untuk mewujudkan manusia yang seutuhnya, guru
adalah bagian pertama dan utama untuk dibenahi, diperhatikan, dan ditingkatkan kualitasnya.
Kurikulum berikut berbagai inovasi dalam pendidikan memang penting, tetapi
perlu diingat, sebaik apa pun sistemnya, tidak akan memberi pengaruh signifikan
terhadap perbaikan bangsa ini, manakala guru yang mengaplikasikannya tidak
dapat dijadikan teladan. Gurulah tokoh sentral dalam membentuk peradaban.
Peran Sentral Guru
Oleh: Ruslan